Senin, 24 Juli 2017

PELAJARAN BERHARGA DARI SEORANG BAPAK



Saya baru sempat menuliskannya sekarang. Sebenarnya usai ngobrol santai itu, saya ingin sekali menuliskannya. Meski terlambat, namun setidaknya saya masih ingat betul apa yang diceritakannya.

Pagi itu, saya sedang berada di kamar kost. Saya biasanya melakukan bersih-bersih kamar sebelum melanjutkan aktivitas lain yang sifatnya akademis.

Untuk menghilangkan pengapnya kamar saya membuka pintu dan jendela. Udara pagi ditambah hangatnya mentari di pagi itu cukup menambah semangat. Di luar sana, tepat di sebelah kanan jendela saya terdapat keran air yang biasa kami manfaatkan airnya untuk mencuci pakaian, berwudhu, cuci tangan dan aktifitas bersih diri lainnya. Terlihat seorang bapak tua yang sedang mencuci pakaiannya. Dengan posisi duduk dengan bak berisi rendaman pakaian di depannya dan dikuceknya perlahan.

Perlu diketahui, ia adalah pedagang martabak yang juga satu kost dengan saya. Kamarnya kebetulan berdekatan dengan kamar saya. Ia tinggal sendirian saja di kamar itu. Namun, kebanyakan hanya singgah sebentar lalu pergi, mengingat ia juga memiliki kontrakan lain tidak jauh dari kost yang dihuni bersama istri dan seorang anaknya yang masih kecil.

Sambil mencuci ia mulai membuka pembicaraan ringan dengan menyapa dan berbasa basi. Saya pun menimpali dengan baik. Sampai pada akhirnya ia mulai bercerita tentang keluarganya, terutama mengenai anak-anaknya. Ia mempunyai empat orang anak. Anak pertama dan ke dua perempuan, sementara anak ke tiga dan keempat adalah laki-laki. Anak pertamanya sudah menikah, anak kedua masih kuliah semester lima, anak ke tiga masih sekolah di SMP dan anak ke empat masih duduk di bangku SD.

Ia menceritakan nasib anak pertamanya yang kurang beruntung dalam kehidupan rumah tangganya. Sebelum menikah, sang bapak berpesan agar anaknya benar-benar memanfaatkan waktunya untuk belajar. Bahkan setamat sekolah SMA sang bapak sanggup menguliahkannya, asal belajar dengan baik. Selama sekolah, ia pernah dilihat dibawa oleh seorang pemuda yang kelihatannya bukan pemuda baik-baik. Ancamanpun di berikan ke putri pertamanya itu. Ia tegaskan bahwa anak gadisnya itu boleh memilih, serius belajar atau menikah saja jika tidak serus sekolah. Namun si anak minta untuk tetap sekolah.

Namun sayang seribu sayang, kejadian memalukan menimpanya. Anaknya dihamili oleh seorang kernet bus antar propinsi yang berasal dari salah satu daerah di jawa barat. Singkat cerita, anaknya itu terpaksa dinikahkan dengan kernet itu. 

Untung tak dapat diraih, malang tak bisa dibendung. Putri pertama sang bapak mengalami penderitaan dalam menjalani kehidupan pernikahannya. Suaminya tidak bertanggung jawab dalam menafkahinya. Setelah usut punya usut suaminya itu hanya mencari uang untuk orang tuanya yang kondisinya sangat miskin. Mereka tinggal di terminal, ayahnya menjual rokok keliling sementara ibunya tidak bekerja apa-apa. Namun bukan itu yang disesalkan, disamping uang untuk orang tuanya, uangnya juga habis di meja judi dan untuk membeli minuman keras.

Tidak saja sampai di situ, suatu ketika putri pertama sang bapak mengalami kecelakaan sehingga ia harus dirawat inap di rumah sakit. Tak sesen pun ia dibantu oleh suaminya dalam biaya berobat itu. Sang bapak harus rela membiayai anaknya meski anaknya telah bergantung pada tanggung jawab sang suami. Suaminya bahkan jarang muncul untuk menemani istrinya disaat ia sakit.

Sang bapak akhirnya memanggil menantunya yang tidak bertanggung jawab itu. Ia membicarakan bahwa semestinya menantunya itu lebih bertanggung jawab. Seandainya pun ia kesulitan dalam mencari rezeki, sang bapak siap membantu. Pernah suatu ketika sang bapak memberikan kepercayaan kepada anak menantunya itu untuk menjual tong gas elpiji sepulangnya bekerja sebagai kernet bus. Namun, tak berjalan mulus mengingat tidak dikerjakan dengan serius dan tekun.

Sebenarnya berbagai upaya telah dilakukan sang bapak untuk membantu perekonomian anaknya. Namun karena tidak pernah berjalan dengan baik akhirnya sang bapak tak tahu harus bagaimana dan berbuat apa. 

Lain cerita lagi dengan anaknya yang kedua. Meskipun memiliki keterbatasan, namun setidaknya dapat membuat sang bapak tidak kecewa. Bagaimana tidak, anaknya itu mengalami keterbatasan berupa sering lupa. Kadang-kadang bapaknya sendiri dipanggil om, mas atau pak dhe. Ketika ditanya mengenai sesuatu biasanya si anak akan lama menemukan jawaban dari pertanyaan sederhana sekalipun. Namun sang bapak cukup bersyukur karena anak ke duanya itu rajin bersekolah.

Rasa mengganjal di hati sang bapak ternyata juga datang dari tingkah polah anak ke tiganya. Karena pergaulannya yang tak terkontrol pernah anaknya itu terjerumus menjadi bagian dari komunitas Punk. Nongkrong tak jelas, ngamen di jalanan dan melakukan berbagai kegiatan tak bermanfaat lainnya. Sehingga suatu hari sang bapak mengancam anaknya itu. Ia mengatakan meskipun usia sudah tak muda lagi, tapi ia masih punya tenaga untuk membuat anak laki-lakinya itu babak belur jika tidak mengubah tingkah lakunya. Syukurnya anaknya itu nurut dan tak lagi bergabung dengan komunitas Punk, meskipun sifat nakalnya masih tetap ada.

Anaknya yang paling kecil saat ini masih bersekolah di salah satu SD di Surakarta. Tidak banyak yang diceritakan mengenai anaknya yang satu ini. Namun setahu saya, anak itu tidaklah terlalu nakal, relatif sama dengan anak-anak seusianya yang nakalnya masih dalam taraf yang wajar.

Ceritanya pun berakhir seiring dengan berakhirnya bilasan cucian yang terakhir. Saya hanya menyimak dan sesekali mengangguk serta bertanya dan menanggapi ceritanya.

Saya salut dengan perjuangan bapak ini dalam menghidupi keluarganya. Ia rela begadang berjualan martabak demi anak dan istrinya. Yang saya salutkan juga adalah ketaatannya dalam beribadah, terutama shalat berjamaah. Hampir setiap waktu shalat ia laksanakan secara berjamaah di masjid di dekat kost. Biasanya meskipun sibuk berjualan martabak, ia akan menghentikan aktivitasnya itu ketika adzan berkumandang. Dengan demikian para pelanggannya juga harus sabar menunggu hingga ia selesai melakukan shalat berjamaah di masjid. Biasanya ia akan meninggalkan gerobak martabaknya dan menempelkan tulisan di depannya yang bertuliskan “maaf sedang shalat”. Subhanallah, sungguh jarang saya menemukan orang seperti ini di saat-saat ini dengan hiruk pikuk kesibukan orang-orang mengejar dunia karena tuntutan ekonomi.

Bapak ini juga saya kenal sebagai orang yang ramah dan murah senyum. Dalam berkomunikasi biasanya ia tersenyum dan berbicara sopan. Selain itu ia juga memiliki sifat yang bertanggung jawab. Pada bulan Ramadhan yang telah lewat, kebetulan saya tidak pulang ke Lombok. Jadi, kegiatan berpuasa dan ibadah lainnya saya lakukan di tanah Solo ini. Kami yang tidak pulang kebagian jadwal untuk ceramah setelah shalat subuh, termasuk si bapak ini. Meskipun ia tidak tamat sekolah SD tapi ia benar-benar bertanggung jawab dengan amanah yang diberikan kepadanya. Menurut ceritanya, ia hanya sampai kelas tiga SD, setelah itu putus sekolah karena memilih untuk membantu keluarga menambah penghasilan. Meski demikian, syukurnya ia masih bisa membaca. Ia meminta saya untuk membuatkannya muqaddimah atau pembukaan ceramahnya. Saya pun menuliskannya di selembar kertas dan kemudian dibacanya ketika melakukan ceramah itu. Ia menyampaikan ceramahnya dengan bersemangat, meskipun tidak ada latar belakangnya sebagai penceramah, atau berbicara di depan umum.

Ia juga sering menjadi imam di masjid ketika shalat berjamaah. Meskipun kadang-kadang lupa lanjutan ayat yang dibacanya. Sepengetahuan saya, ia biasanya mendengarkan lantunan ayat-ayat suci alqur’an dari radionya ketika ia sedang melayani pelanggannya ketika berjualan martabak. Kemungkinan menghafal ayat-ayat itu dilakukan dengan mendengarkan dari radio itu.

Saya benar-benar berpikir dan mendapat pelajaran dari kehidupan sang bapak. Saya belajar bagaimana nantinya ketika menjadi seorang bapak. Belajar bagaimana bertanggung jawab atas amanah yang diberikan. Belajar dari beberapa cerita kegagalannya dalam mendidik anak-anaknya. Belajar untuk istiqomah dalam beribadah dan berbuat kebaikan. Serta belajar bagaimana menghadapi berbagai macam cobaan yang hadir dalam kehidupan. Terus terang saya benar-benar belajar dari itu semua.

Surakarta, 23 November 2013


--Hasrul Hadi--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar