Jumat, 17 November 2017

MENULIS; ANTARA INSPIRASI, KEMATANGAN KONSEP DAN KONSISTENSI

Sumber : Google.com

Sering kali kita merasa bingung ketika hendak menulis. Dalam benak kita bertanya-tanya "mau menulis apa ya?". Kelamaan mikir akhirnya tidak jadi menulis. Kadang pula, ketika kita sudah berusaha menulis, tapi tak sampai juga ke ujung tulisan. Dengan kata lain kita sering berhenti menulis sebelum tulisan utuh dibuat.

Setelah saya membaca dan berpikir tentang sebuah inspirasi, saya kemudian mendapat sedikit pencerahan. Ternyata, selama ini kita kebanyakan menunggu datangnya inspirasi. Padahal, inspirasi begitu banyaknya dan bertebaran di muka bumi ini. Hanya saja mungkin kita belum terlalu aktif mencari dan menemukannya sebagai bahan tulisan.
Begitu banyak hal yang bisa kita tulis dari kepingan-kepingan perjalanan hidup yang kita jalani. Tak perlu jauh-jauh, diri kita sendiri misalnya, bisa jadi bahan tulisan. Keluarga, teman, sahabat, pekerjaan, berita yang berkembang, dan masih banyak lagi bahan untuk ditulis. Apalagi di era teknologi seperti saat ini. Tidak hanya informasi di dunia nyata seperti surat kabar mainstream, juga di dunia maya yang begitu melimpah ruah. Tinggal bagaimana kreativitas kita mengolahnya menjadi tulisan menarik dan bermanfaat.
Tema apa yang menurut kita remeh temeh justru bisa jadi konten tulisan yang menarik bagi orang yang kreatif. Kita perlu mengasah kereativitas dalam menulis, sehingga tulisan kita tidak terkesan kaku, tanpa ruh dan magnit yang menyedot perhatian para pembaca. Dari itu saya mencoba secara terus menerus berusaha belajar bagaimana menghasilkan tulisan menarik dan berkualitas. Saya punya keyakinan bahwa kompetensi di bidang apapun akan cepat dikuasai dan berpeluang menjadi expert jika jam terbang di bidang itu tinggi, artinya pekerjaan itu sering dan berulang kali kita lakukan. Termasuk kompetensi dalam menulis.
Kemudian, kembali sedikit saya singgung tentang masalah tulisan yang gagal jadi alias berhenti di tengah jalan. Penyebab utama masalah ini menurut saya adalah belum lengkap dan detilnya konsep di otak kita. Tentunya konsep yang terkait dengan topik yang akan ditulis. Sehingga wajar kemudian gagasan yang dituangkan dalam bentuk tulisan hanya sepotong. Itulah sebabnya mengapa kemudian kita perlu mematangkan konsep di otak sebelum menuliskannya. Begitu kira-kira.
Tapi apa pun teorinya, hanya intensitas menulis yang tinggilah yang akan berhasil menjadikan kita penulis. Karena sejatinya jika kita hanya berpikir tanpa berbuat, maka tak ubahnya seperti hanya melamun dan berangan-angan belaka. Bruce Lee pernah berkata "Aku tak takut dengan seribu jenis tendangan yang dilatih hanya satu kali, tapi aku hanya takut dengan satu jenis tendangan yang dilatih seribu kali". Apa maknanya? Jika kita sudah berkomitmen menjadi penulis mari kita tekuni dan hadapi segala resikonya. Menulis dan tekuni, tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk menekuni kompetensi yang lain sebelum kompetensi menulis benar-benar dikuasai. Ada semacam adegium tentang pendidikan di negara kita "pendidikan di negara maju menghasilkan orang-orang yang tau banyak tentang hal yang sedikit, sementara di negara kita pendidikan hanya menghasilkan orang-orang yang tau sedikit tentang hal yang banyak". Artinya kita perlu menciptakan expert-expert yang punya kompetensi mendalam yang bukan hanya tau serba sedikit. Termasuk expert dalam hal menulis.
Demikian kira-kira coretan yang bisa saya suguhkan di pagi yang agak mendung ini. Semoga bermanfaat. Korleko, 17 November 2017. --HH

Rabu, 15 November 2017

KEDEWASAAN DALAM BERPOLITIK

Sumber : Google.com

Akhir-akhir ini saya intens mengikuti perkembangan politik di desa saya, yakni Desa Korleko. Maklum, suhu politik pilkades sudah mulai agak menghangat. Letupan-letupan konflik sudah mulai terdengar di sana sini, meski intensitasnya masih kecil. Hal ini wajar, mengingat setiap calon kepala desa bersama dengan tim nya sedang berusaha sekuat tenaga agar dapat meraih simpati masyarakat pemilih. Meski belum ada bukti konkrit yang saya temukan, isu money politic sudah santer terdengar. Ini jelas menodai demokrasi kita yang sudah bersusah payah dibangun oleh para pendiri bangsa dengan menekankan pada pelaksanaan demokrasi yang bersih.
Fenomena terpolarisasinya masyarakat pada kelompok-kelompok calon kepala desa yang mereka dukung menimbulkan hal lain yang tak kalah penting. Apa itu? Semakin menguatnya soliditas masyarakat pada satu kelompok, dan merenggangkan hubungan dengan kelompok lainnya di satu sisi.Misalnya saja, saya mendengar cerita dari seorang warga bahwa ia memiliki sepupu yang rumahnya tepat berada di depan rumah warga tersebut. Pernah suatu ketika mereka berdua hendak sama-sama keluar dari rumah mereka masing-masing. Terpolarisasinya masyarakat pada kelompok-kelompok calon kepala desa yang mereka dukung menimbulkan hal lain yang tak kalah penting. Apa itu? Semakin menguatnya soliditas masyarakat pada satu kelompok, dan merenggangkan hubungan dengan kelompok lainnya di satu sisi. Misalnya saja, saya mendengar cerita dari seorang warga bahwa ia memiliki sepupu yang rumahnya tepat berada di depan rumah warga tersebut. Pernah suatu ketika mereka berdua hendak sama-sama keluar dari rumah mereka masing-masing.
Tersebab pilihan calon kades yang berbeda, mereka keluar gerbang rumah dengan saling membelakangi, saling memunggungu satu dengan yang lain. Jangankan saling tegur sapa, sepotong senyum pun tak ada. Misalnya saja, saya mendengar cerita dari seorang warga bahwa ia memiliki sepupu yang rumahnya tepat berada di depan rumah warga tersebut. Pernah suatu ketika mereka berdua hendak sama-sama keluar dari rumah mereka masing-masing. Tersebab pilihan calon kades yang berbeda, mereka keluar gerbang rumah dengan saling membelakangi, saling memunggungu satu dengan yang lain. Jangankan saling tegur sapa, sepotong senyum pun tak ada. Semula, senyum sapa dan interaksi positif antar tetangga terjalin cukup baik. Namun ketika pesta demokrasi (pilkades) sudah dimulai, maka tak jarang sesama tetangga, bahkan antar keluarga ada yang tak mau saling tegur sapa, mengingat pilihan calon kades yang berbeda. Pilihan calon kades yang berbeda, mereka keluar gerbang rumah dengan saling membelakangi, saling memunggungu satu dengan yang lain. Jangankan saling tegur sapa, sepotong senyum pun tak ada. Misalnya saja, saya mendengar cerita dari seorang warga bahwa ia memiliki sepupu yang rumahnya tepat berada di depan rumah warga tersebut. Pernah suatu ketika mereka berdua hendak sama-sama keluar dari rumah mereka masing-masing. Tersebab pilihan calon kades yang berbeda, mereka keluar gerbang rumah dengan saling membelakangi, saling memunggungu satu dengan yang lain. Jangankan saling tegur sapa, sepotong senyum pun tak ada. Semula, senyum sapa dan interaksi positif antar tetangga terjalin cukup baik. Namun ketika pesta demokrasi (pilkades) sudah dimulai, maka tak jarang sesama tetangga, bahkan antar keluarga ada yang tak mau saling tegur sapa, mengingat pilihan calon kades yang berbeda.
Mungkin tak tepat jika saya terlalu prematur membuat sebuah kesimpulan. Mengingat data

dan informasi yang saya peroleh masih sangat terbatas. Informasi yang telah saya peroleh pun perlu divalidasi agar terbukti kuat kebenarannya. Namun paling tidak kita bisa mengambil sebuah pembelajaran berharga dari fenomena tersebut. Tak hanya kejadian sederhana seperti itu. Percekcokan antar warga juga sering terjadi. Perdebatan akibat mengunggulkan calon masing-masing juga menjadi penyebab pertengkaran serius dan dendam berkepanjangan. Fenomena ini tak hanya terjadi di dunia nyata, bahkan sering juga terjadi di dunia maya melalui media sosial. Tak tepat jika saya terlalu prematur membuat sebuah kesimpulan. Mengingat data dan informasi yang saya peroleh masih sangat terbatas. Informasi yang telah saya peroleh pun perlu divalidasi agar terbukti kuat kebenarannya. Namun paling tidak kita bisa mengambil sebuah pembelajaran berharga dari fenomena tersebut. Tak hanya kejadian sederhana seperti itu. Percekcokan antar warga juga sering terjadi. Perdebatan akibat mengunggulkan calon masing-masing juga menjadi penyebab pertengkaran serius dan dendam berkepanjangan. Fenomena ini tak hanya terjadi di dunia nyata, bahkan sering juga terjadi di dunia maya melalui media sosial.
Perdebatan demi perdebatan, pertengkaran demi pertengkaran masih terus saja terjadi. Hal yang sepatutnya kita tanamkan dalam diri kita masing-masing adalah sikap terbuka (open mind) dengan segala macam perbedaan. Hindari panatisme politik secara berlebihan. Tanamkan sikap persaudaraan dengan kuat. Lawan politik berbeda dengan musuh politik. Bukan permusuhan yang hendak dibangun, melainkan persaingan yang sehat. Demokrasi yang bersih. Tujuan yang mulia demi kesejahteraan, keamanan, dan kemajuan kita bersama. Tanpa ada lagi gesekan-gesekan yang kemudian menjadi pemicu perpecahan bangsa. Lalu apa pelajaran berharganya? Tentunya dari fenomena tersebut kita tersadar dan
sedikit tidak fenomena tersebut telah menggambarkan bahwa kita masih belum dewasa dalam berpolitik. Demi perdebatan, pertengkaran demi pertengkaran masih terus saja terjadi. Hal yang sepatutnya kita tanamkan dalam diri kita masing-masing adalah sikap terbuka (open mind) dengan segala macam perbedaan. Hindari panatisme politik secara berlebihan. Tanamkan sikap persaudaraan dengan kuat. Lawan politik berbeda dengan musuh politik. Bukan permusuhan yang hendak dibangun, melainkan persaingan yang sehat. Demokrasi yang bersih. Tujuan yang mulia demi kesejahteraan, keamanan, dan kemajuan kita bersama. Tanpa ada lagi gesekan-gesekan yang kemudian menjadi pemicu perpecahan bangsa. Lalu apa pelajaran berharganya? Tentunya dari fenomena tersebut kita tersadar dan sedikit tidak fenomena tersebut telah menggambarkan bahwa kita masih belum dewasa dalam berpolitik.
Keterlibatan kita dalam peristiwa politik ini masih kekanak-kanakan. Kita belum bisa memaknai demokrasi yang sejati. Kita masih perlu belajar banyak tentang kedewasaan berpolitik. Jangan sampai peristiwa politik semakin memecah belah kita, bahkan semakin mengacaukan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Lalu bagaimana memulai belajar dewasa dalam berpolitik? Tentunya harus dimulai dari hal terkecil, mulai dari diri sendiri dan harus dimulai saat ini juga. Dan bagaimana hasilnya ke depan, itu semua bergantung kepada upaya perubahan yang kita lakukan masing-masing. Kita dalam peristiwa politik ini masih kekanak-kanakan. Kita belum bisa memaknai demokrasi yang sejati. Kita masih perlu belajar banyak tentang kedewasaan berpolitik. Jangan sampai peristiwa politik semakin memecah belah kita, bahkan semakin mengacaukan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Lalu bagaimana memulai belajar dewasa dalam berpolitik? Tentunya harus dimulai dari hal terkecil, mulai dari diri sendiri dan harus dimulai saat ini juga. Dan bagaimana hasilnya ke depan, itu semua bergantung kepada upaya perubahan yang kita lakukan masing-masing.
Korleko, 13 November 2017

Rabu, 08 November 2017

SUDAHKAH KITA MEMBACA HARI INI ?

Sumber : Google.com
Oleh : Hasrul Hadi Di suatu kesempatan, seorang anak kecil tak sengaja menginjak lembaran koran yang terlihat lusuh. Kemudan bapaknya menegur dengan serius. "Nak, kamu sudah baca habis belum lembaran koran yang kau injak, sudah faham belum apa isinya? Jangan pernah kau menjadi sombong, dengan sesuatu yang terlihat remeh temeh." Dada anak kecil itu bergetar. Ia kaget. Sesuatu yang dianggapnya biasa saja ternyata ditanggapi serius oleh bapaknya. Ia pun tersadar akan kekurangan dirinya selama ini dalam membaca. Ia kemudian memungut lembaran koran yang lusuh itu dan membacanya hingga tuntas, tanpa satu huruf pun terlewatkan. Sejak saat itu, ia bertekad dimanapun ia berada, kemanapun ia pergi, ia akan selalu ditemani oleh buku. Membaca menjadi suatu hal yang akrab dan lekat dengan dirinya. Siapakah anak kecil itu??? Anak kecil itu adalah TGH Hasanain Juaini. Pimpinan Ponpes Nurul Haramain Narmada. Sekjen PBNW Pancor. Penghargaan kelas dunia pun pernah diraihnya, Ramon Magsasay, Ashoka Award, Ma'arif institut, kalpataru, dan berbagai penghargaan lain pernah diperolehnya. Saya sungguh terinspirasi dengan beliau. Baik soal perjuangan lingkungannya, maupun keistiqomahan dalam membaca. Semoga kisah ini menginspirasi kita semua. Lalu kita bagaimana? Sudahkah kita membaca hari ini..!!! Korleko, 8 November 2017

KEMBALI MENULIS

Akhirnya saya rindu juga menulis. Mengetik kan kata demi kata yang terangkai menjadi kalimat. Berlanjut menjadi paragraf demi paragraf. Mung...