Selasa, 31 Oktober 2017

PAK TANI, RIWAYATMU KINI

Sumber : Google.com
Oleh : Hasrul Hadi Dua malam yang lalu sebelum datang waktu shalat isya, seorang warga datang ke rumah. Kedatangannya untuk mesilak (mengundang) saya pada acara pernikahan salah seorang warga. Usai shalat isya saya pun langsung bergegas menuju lokasi acara. Sesampai di sana sudah terlihat cukup banyak tamu undangan yang duduk bersila, mereka masih menunggu tamu undangan yang lain sambil ngobrol antara satu dengan yang lain. Semua tamu undangan adalah bapak-bapak. Beberapa di antaranya adalah tokoh agama dan tokoh masyarakat yang tempat duduknya dipersiapkan khusus oleh tuan rumah. Selain tokoh agama dan tokoh masyarakat, sebagian besar tamu undangan adalah masyarakat biasa yang kebanyakan dari mereka adalah para petani. Beberapa tamu undangan dan seorang tamu dari kalangan tokoh agama belum juga datang. Para tamu undangan yang lain masih sabar menunggu termasuk saya, sebelum akhirnya prosesi akad nikah dimulai. Di sela-sela waktu menunggu, saya manfaatkan untuk bercengkrama. Khususnya dengan tamu undangan yang sebagian besarnya adalah petani. Kami bertukar pikiran, dan sebagian besar waktu saya gunakan untuk mendengar cerita mereka. Terlihat dari raut wajah mereka bagaimana beratnya menjadi petani dengan hasil yang tidak sebanding. Salah seorang petani memulai ceritanya tentang mahalnya biaya pengolahan lahan sawah mereka. Mulai dari membajak, mengairi, membeli bibit, membeli pupuk, beli obat, beli mulsa dan upah buruh. Belum lagi mereka harus siap merawat dan mengontrol sendiri tanaman mereka dari serangan hama dan gulma setiap harinya. Perjuangan untuk memperoleh hasil yang maksimal memang tidak mudah. Mereka harus rela berkorban biaya, tenaga dan pikiran. Tak jarang gara-gara masalah air irigasi para petani terlibat konflik serius dengan sesama petani lainnya. Ini juga menimbulkan masalah tersendiri bagi mereka. Tidak cukup hanya menghadapi masalah selama proses pengolahan lahan dan merawat tanaman, petani juga dihadapkan dengan masalah rendahnya harga jual hasil panen. Sebagai contoh saja, harga cabai hanya tujuh ribu rupiah per kilogram. Itu belum termasuk ongkos buruh memetiknya. Lahan tempat menanam pun terbilang sempit, hanya beberapa are. Harga hasil panen anjlok. Bagaimana mungkin petani tidak pusing, setelah berdarah-darah mengurus tanamannya mereka harus menelan pil pahit atas kerugian yang mereka alami. Tapi kita perlu berikan apresiasi kepada para petani. Meski sering mengalami kerugian akibat rendahnya harga jual hasil panen--belum lagi adanya potensi gagal panen--para petani masih tetap bersabar. Saya sempat melontarkan pertanyaan. "apa bapak tidak kapok bertani?" lantas ia menjawab "ya tidak lah, ini memang pekerjaan saya, untung rugi itu biasa, paling tidak hasil panen bisa dinikmati oleh keluarga kalau tidak dijual. Bertani sudah menjadi pilihan hidup." Semangatnya perlu kita apresiasi. Tapi kepedulian dan perhatian semua pihak tetap diperlukan untuk memperbaiki nasib mereka. Mangapa demikian? Alasannya jelas, setiap orang indonesia makan beras, makan sayur, butuh bumbu, butuh buah dan produk pertanian lainnya yang penanamnya adalah petani. Oleh karena itu peran petani jelaslah sangat penting. Saya hanya bisa berdoa bagi mereka saat ini. Mudah-mudahan nasib baik bisa menghampiri mereka. Sehingga ke depan tak ada lagi cerita miris dari para petani kita. Tak ada lagi raut wajah sedih petani kita. Yang ada hanyalah senyum bahagia, bersahaja penuh keramahan sebagai ciri khas bangsa kita. Maju terus petani Indonesia. Selamat Menulis, #BeActiveWriter Korleko, 28 Oktober 2017 --HH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar