Senin, 24 Juli 2017

BERGRILYA; DARI PERKANTORAN HINGGA PELOSOK DESA



Dua minggu berlalu terasa begitu singkat. Namun di hari-hari yang telah terlewati, begitu banyak kejadian yang terkadang membuat saya merenunginya. Untuk menjernihkan pikiran, serta agar aliran darah menjadi lancar, menurut saya penting artinya untuk berbagi pengalaman kepada pembaca yang budiman. Oleh karena itu tidak bosan-bosannya saya memaksa jari-jari tangan saya untuk menari di atas keyboard laptop butut ini. Menari dan mengurai kisah yang tak ingin saya simpan sendiri dan tak sudi pula kiranya itu akan terkubur menjadi sebuah rahasia. 

Jikalau mata kita dipelototkan menuju judul tulisan ini, dapatlah kita tersangkut pada sebuah kata, yaitu “bergrilya”. Mungkin mendengar istilah bergrilya, imajinasi kita langsung meloncat menuju zaman-zaman dimana terjadi peperangan. Salah satu strategi yang digunakan adalah “perang grilya”. Perang yang dalam praktiknya menggunakan kelincahan gerakan menyerang musuh secara membabibuta dan spontan kemudian segera bersembunyi. Inilah yang dilakukan pejuang bangsa kita pada masa-masa penjajahan dahulu, mengingat keterbatasan senjata dan pasukan untuk melawan penjajah pada waktu itu.

Namun bukan perang melawan penjajah yang dibahas dalam tulisan ini, melainkan perang melawan ribetnya birokrasi, macetnya jalan pantura dan perang melawan diri sendiri yang selalu senang dengan zone nyaman. Bergrilya yang kami lakukan tujuannya sangat jelas, yaitu untuk mendapatkan data penelitian.

Saya tahu, terlalu banyak Muqoddimah alias pembukaan akan membuat anda bosan. Atau mungkin membuat anda mulai lapar. Baiklah, saya akan segera memulainya, sebelum pandangan anda berkunang-kunang karena kebanyakan kata pengantar.
**
Sudah dua minggu ini kami berada di Sayung Demak. Kegiatan penelitian ini memaksa kami harus bergrilya untuk mengumpulkan data yang berserakan. Baik dengan cara wawancara, observasi maupun menelaah dokumen-dokumen. Kegiatan wawancara dan observasi kami lakukan di sela-sela mengurus perizinan penelitian. Namun demikian, untuk studi dokumen masih mandeg, mengingat dokumen yang akan dipelajari masih entah dimana.

Terus terang, sampai saat ini (selama dua minggu), kami masih berkutat pada perizinan dan mohon bantuan data di kantor bapak-bapak dan ibu-ibu yang konon katanya “terhormat”. Untuk tujuan itu, kami harus rela mondar-mandir di jalur Pantura (Pantai Utara). Bisa dibayangkan, dengan kondisi jalanan yang ramai dengan kendaraan-kendaraan raksasa semacam truk gandeng, tronton, kontainer, bus-bus dan kendaraan pribadi yang berlalu lalang. Sewaktu-waktu, jika konsentrasi mengendarai speda motor memudar, maka ada kemungkinan anda akan “dicium” oleh bemper Truk Tronton. Disamping laju kendaraan yang ramai dan terkadang macet, disemarakkan dengan panas terik matahari yang menyengat kulit. Debu-debu yang berterabangan mengganggu pandangan, bau limbah cair pabrik-pabrik sepanjang jalur Pantura juga menambah eksotis suasana.

Pernah suatu ketika, kami harus bolak-balik sebanyak tiga kali tanpa istirahat dari kontrakan menuju kota Demak. Waktu yang diperlukan untuk menempuh rute itu adalah 30 menit. Berarti sekitar 180 menit (3 jam) kami habiskan hanya untuk menikmati jalur Pantura. Tidak terlalu lama memang, namun cukup menguras tenaga ketika perjalanan di siang hari saat matahari lagi lapar-laparnya.

Tragedi bolak-balik itu sebenarnya akibat ketoledoran kami. Setelah sampai di kantor Kesbangpol, kami hanya membawa surat izin dari kampus. Padahal salah satu persyaratannya adalah menyerahkan proposal penelitian. Terpaksa, kami harus kembali ke kontrakan dan mengambil proposal yang kami kira telah siap sedia. Namun ternyata, tertinggal di Solo. Terpaksa harus nge-print file yang syukur saja masih ada di laptop. Setelah kembali ke kota Demak dan cukup lama mencari, terdamparlah kami pada sebuah kedai pengisian pulsa. Dan ternyata di sana juga menyediakan jasa pengetikan termasuk print out. Itulah yang kami butuhkan saat itu. Dua proposal pun sudah berwujud lembaran-lembaran yang siap untuk dijilid. Dan sialnya lagi, lembar pengesahan yang telah ditandatangani dosen pembimbing tertinggal di kontrakan. Jelas, harus menelusuri Pantura lagi untuk mengambilnya.

Panasnya jalanan di jalur pantura, seiring sejalan dengan tidak efektifnya orang-orang kantor instansi dalam bekerja. Pekerjaan yang seharusnya selesai dalam beberapa menit saja harus ditunda-tunda sampai batas waktu yang tidak jelas. Ada beberapa pengalaman untuk yang satu ini. Sehingga ini cukup menyebalkan bagi kami.

Pertama, ketika kami memasukkan surat izin sekaligus mohon bantuan data di kantor Dinas Kelautan dan Perikanan. Surat itu kami masukkan pada hari selasa minggu lalu. Ternyata, kami diminta datang lagi pada hari jumat. Hal ini lantaran kepala dinasnya sedang berada di luar kota. Kami mengalah. Setelah memenuhi permintaan untuk datang hari jumat, kami diminta lagi datang hari senin. Alasannya, mereka akan pergi ke lapangan. Entah lapangan basket atau lapangan sepak bola. Dan sampai detik ini kami belum menindak lanjutinya lagi, mengingat kami disibukkan dengan grilya ke desa-desa. Kedua, ketika berkunjung ke salah satu desa yang akan menjadi lokasi penelitian kami, yaitu desa Sriwulan. Salah seorang staf yang diminta melayani kami untuk keperluan data harus menunda memberikan datanya, sehingga kami harus berkunjung lagi ke kantor desa itu. Tidak efektifnya pelayanan menurut saya terletak pada penghambur-hamburan waktu untuk keperluan yang kurang begitu penting. Hanya untuk memberikan kami data monografi desa, harus menunggu dua sampai tiga hari kedepan. Alasannya, akan ada kunjungan tamu penting. Ia harus menyiapkan segala sesuatunya. Namun yang kami tidak habis pikir, ketika melayani kami, bukannya informasi yang kami butuhkan yang dibahasnya, melainkan curhat tentang keluarganya. Tidak hanya curhat dengan masalah keluarga, ditambah lagi ia menceramahi kami, layaknya menceramahi “anak baru gede”. Bicara yang tidak substansial itu berlangsung hampir 25 menit. Sangatlah cukup untuk mengambil draf data monografi desa dan meminta kami memfotocopynya. Entahlah.

Tidak saja sampai disitu, kami merasakan sulit sekali mendapatkan data. Ini dikarenakan kemungkinan rendahnya kesadaran mereka akan pentingnya data. Mengutip kata kepala arsip daerah “mungkin instansi-instansi ini belum sadar betul arti pentingnya data sehingga menunggu bencana dulu baru merasa. Kepala arsip daerah kabupaten demak mengeluhkan data yang tak kunjung masuk dari berbagai instansi pemerintah lainnya. Padahal telah beberapa kali menyebarkan surat edaran untuk itu. Dalam undang-undangpun sudah diatur sangat jelas mengenai kearsipan ini. Namun banyak yang “mbalelo” dalam hal ini. Meskipun tidak semua instansi bigutu, kami merasakan betul kemiskinan data di kabupaten demak ini. Kami selalu pulang dengan tangan hampa. Jika tidak bisa melayani kami hari itu, alasannya adalah tidak adanya data. Hal yang menurut saya sangat aneh, padahal semua itu dikelola oleh orang-orang berpendidikan.

Bosan dengan urusan di kantor-kantor, kami menghilangkan penat dengan bergrilya di pelosok-pelosok desa. Mulai dari ujung barat bagian utara sampai ujung timur bagian utara. Untuk diketahui, Kami meneliti empat desa yang kesemuanya itu termasuk dalam Kecamatan Sayung dan berbatasan langsung dengan laut. Desa itu adalah Desa Sriwulan, Bedono, Timbulsloko, dan Surodadi. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, baik melalui media, warga, maupun peta, keempat desa tersebut merupakan desa yang paling parah tingkat abrasi dan banjir pasang air lautnya (rob). Inilah yang menarik perhatian kami ke ujung utara desa-desa ini.

Di sebelah barat adalah desa Sriwulan yang berbatasan langsung dengan Kota Semarang. Di bagian ujung utara desa ini yang berbatasan langsung dengan laut terdapat beberapa kenampakan. Ternyata abrasi telah meluluh lantakkan beberapa rumah warga dan memaksa mereka untuk berpindah tempat tinggal. Bisa dikatakan rumah-rumah itu hancur tak berbentuk rumah lagi. Meskipun ada beberapa rumah yang masih terlihat dengan tembok dan atapnya, namun sudah tidak berpenghuni. Mengingat lantai rumah itu selalu tergenang air laut. seperti perkamupungan yang mati. Begitu sepi. Mendengar cerita-cerita warga pun kami menjadi tercengang. Dimana dulunya di kampung itu begitu subur lahan sawahnya. Namun semua itu saat ini telah sirna. Sawah-sawah telah berubah menjadi lahan tambak. Dan lahan tambakpun terancam keberadaannya ketika pasang air laut terjadi. Pada waktunya semua akan tenggelam. 

Desa Bedono pun menyimpan cerita yang tak kalah memprihatinkannya. Telah terjadi relokasi warga di Dusun Tambak Sari dan Rejosari Senik, mengingat kampung mereka telah berubah menjadi sarang air laut. Terutama di kampung Senik. Dulunya dihuni oleh 206 kepala keluarga, dan saat ini mereka telah dipindahkan untuk tujuan keselamatan. Sementara di dusun Tambak Sari sekitar 6 kepala keluarga masih bertahan di sana. Kampung mereka yang berupa lahan mangrove yang becek di tengah laut sana tetap mereka huni. Alasanya, disanalah tempat kelahiran mereka dan semestinya disana pula ia akan menghabiskan sisa hidupnya. Padahal dulunya kampung mangrove itu dihuni oleh 65 kepala keluarga. Beralasan memang, selain alasan tempat kelahiran dan tempat mencari penghidupan, diujung utara pulau mangrove ini juga terdapat makam Syaikh Zakir yang mereka jaga. Makam itu adalah makam salah satu tokoh agama terkemuka dan masih satu darah dengan warga di Dusun Tambak Sari. 

Lain cerita dengan di Desa Surodadi dan Timbulsloko yang sudah memiliki pemecah gelombang sebagai penangkal abrasi maupun banjir. Mekipun demikian, beberapa rumah masih berptensi tergenang, karena tidak semua mampu dihalau oleh pemecah gelombang. Kami sempat berkunjung ke dua desa itu. Kami juga sempat sampai pada ujung jalan buntu. Di ujung jalan itu terdapat pangkalan perahu yang biasa digunakan melaut oleh warga setempat. Tepat ditengah hutan mangrove dengan sungai yang terlihat mulai mengering, perahu-perahu tergeletak begitu saja. Tak ada aktivitas nelayan disana. Seperti sengaja ditinggal dan menunggu air pasang agar dapat menggerakkan perahu-perahu tersebut. Ini wajar karena ini musim kemarau. Sehingga debit air sungai agak berkurang. Kami juga sempat bercengkrama dengan anak-anak kecil yang sedang bermain dipinggiran pantai dengan wajah-wajah polos mereka. Mereka terlihat seperti tanpa beban di tengah-tengah bencana yang mereka hadapi.

Begitu banyak kisah yang bisa diurai dari perjalanan ini. Namun, tak mampulah diceritakan secara detil semua itu disini. Saya yakin betul dengan ungkapan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”. Saya selalu merenung dengan apa yang pernah saya alami. Selalu kita diajarkan hal-hal yang luar biasa dari apa yang pernah kita lakukan. Saya selalu menganggap itu sebagai suatu cerita yang menarik. Bukan sebuah keluhan, melainkan pengalaman yang harus diambil hikmahnya. Disyukuri, dan harus dibagi. Semoga saja menginspirasi.
Salam,
*** 
Demak, 1 Oktober 2013


--Hasrul Hadi-- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar