Senin, 23 November 2020

EKSPEDISI AIR TERJUN SE-PULAU LOMBOK #1 : AIR TERJUN BENANG STOKEL DAN BENANG KELAMBU

Saya terbilang orang yang suka sekali melakukan perjalanan alam bebas. Baik mendaki gunung, camping di bukit, atau perjalanan harian ke beberapa lokasi termasuk pantai. Kali ini saya berencana untuk mengunjungi semua air terjun yang berada di Pulau Lombok. Namun tidak sekaligus, alias bertahap. Saya rencananya akan focus mengunjungi air terjun-air terjun di pulau Lombok. Baik air terjun yang ada di kawasan Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, maupun Lombok Utara. Sebenarnya ada beberapa air terjun di pulau Lombok yang pernah saya kunjungi, antara lain air terjun Otak Kokok Joben, air terjun Semporonan, dan air terjun Sendang Gila. Namun kali ini saya berencana menjelajahi setiap air terjun yang ada di pulau Lombok satu per satu. 

Gagasan ini muncul tepatnya pada sabtu malam tanggal 21 November 2020. Keesokan harinya tepatnya hari Minggu 22 November 2020 pagi sekitar pukul 07.30 wita saya mulai menghubungi teman atau siapa saja yang sekiranya bisa diajak ngetrip ke salah satu air terjun di Lombok Tengah, yakni air terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu. Pertama saya menghubungi teman saya Anwar, seorang dosen di UIN Mataram. Ternyata ketika saya hubungi dia ada di pantai Labuhan Haji bersama keluarganya. Ya mungkin sedang santai menikmati indahnya pagi di pantai Labuhan Haji. Saya utarakan ajakan saya, namun mungkin karena waktunya kurang tepat sehingga dia tidak bisa memenuhi ajakan saya. Dia pun menawarkan pergi bersama di waktu yang lain. 

Selanjutnya saya mencoba menghubungi salah seorang teman lagi via whatsapp, namanya Ghazali. Teman sesama dosen di Universitas Hamzanwadi. Saya tanyakan apa kesibukannya, ternyata dia sedang gotong royong melakukan rehabilitasi rumah. Saya sempat dikirimkan foto kegiatannya. Tak putus sampai di sana, saya coba menghubungi mahasiswa-mahasiswa saya yang sekarang sudah menjadi alumni. Mereka bertempat tinggal di Lombok Tengah. Saya mengutamakan mereka khususnya yang bertempat tinggal tidak jauh dari lokasi air terjun tersebut. Terdapat tiga nama yang saya hubungi, Rosidin, Fauzi dan Sapardiansyah. Rosidin ternyata tidak bisa ikut, karena sibuk mempersiapkan acara pelantikan KPPS esok hari. Maklum dia bekerja di KPU Lombok Tengah. Ke dua Fauzi, ternyata rumahnya di Praya yang lokasi dengan air terjun tersebut cukup jauh. Sementara itu setelah Sapardiansyah saya hubungi, dia juga tidak bisa karena sedang mengerjakan administrasi sekolah. Maklum dia adalah seorang guru di salah satu sekolah swasta di Lombok Tengah. Tiga orang tersebut jelas tidak bisa diajak ke lokasi air terjun. 

Saya terus berpikir kira-kira siapa yang bisa diajak ke lokasi air terjun tersebut. Lalu saya terpikir tentang salah seorang mahasiswa saya yang sekarang masih semester 3. Dia biasa dipanggil Ojik. Dia adalah seorang pecinta alam yang memang senang dengan kegiatan di alam bebas seperti naik gunung, camping dan jalan-jalan melakukan petualangan. Saya coba hubungi dengan menanyakan apa kesibukannya, ternyata dia tidak ada kesibukan. Dia juga menyatakan ketertarikannya untuk ikut. Dia berasal dari Tete Batu, Kecamatan Sikur, Lombok Timur. Akhirnya kami membuat janji untuk bertemu di perempatan Kotaraja depan masjid. Saya dan dia pun bergegas bersiap-siap berangkat. 

Akhirnya saya menemuinya tepat di depan masjid dekat perempatan Kotaraja. Kami tegur sapa sebentar, kemudian saya mengisi bensin motor di penjual bensin dekat masjid tersebut kemudian kami melanjutkan perjalanan. Sebenarnya ada dua jalur untuk menuju lokasi air terjun tersebut, yaitu jalur utama (Selong-Mataram) dan jalur pedesaan. Kami memilih jalur pedesaan. Dengan asumsi jalur ini lebih dekat dan tidak terlalu ramai. Jalur yang kami tempuh mulai dari Kotaraja-Perian-Wajageseng-Aik Berik (Lokasi Air Terjun). 

Sesampai di lokasi air terjun, kami langsung memarkirkan sepeda motor kami masing-masing ke tempat parkir yang telah disediakan. Biaya parkirnya 5000 rupiah per sepeda motor. Kami kemudian langsung menuju tempat pembelian tiket yang lokasinya tidak jauh dari tempat parkir. Namun sebelum membeli tiket masuk, kami menyempatkan diri mengambil foto beberapa obyek seperti gapura atau gerbang masuk, papan informasi mengenai air terjun serta peraturan-peraturan yang harus ditaati selama di air terjun. Di loket pembelian tiket itu kami membeli tiket dengan harga tiket 5000 rupiah per orang. 

Gapura/Pintu masuk menuju Air Terjun

Informasi seputar Air Terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu

Info Situs Geopark

Peraturan

Loket Pembelian Tiket Masuk

Setelah masuk ke gerbang besar itu, di samping kiri dan kanan jalan terlihat pedagang makanan yang berjejer rapi. Ada yang menjual nasi campur, nasi goreng, pop mie, snack dan aneka makanan lainnya. Sekitar 50 meter dari gapura kami diminta untuk menyerahkan tiket yang telah kami beli oleh beberapa orang petugas. Tempat pengecekan tiket tersebut merupakan pintu masuk utama ke lokasi air terjun. Di sana juga kami sempat mengambil foto orang-orang dan informasi peraturan yang harus ditaati. Di lokasi itu kami juga ditawarkan untuk naik jasa ojek yang ongkosnya 35 ribu antar jemput. Namun kami menolak tawaran tersebut, karena memang kami ingin menikmati perjalanan menghirup udara segar di kawasan hutan sepanjang perjalanan. 

Pangkalan ojek dan pos pengecekan tiket masuk

Peraturan Penting

Gerbang masuk kawasan HKm dan obyek wisata
air terjun Benang Stokel dan Benang Kelambu


Sejak memasuki pintu masuk tersebut kami menyaksikan rimbunnya pepohonan hutan serta segarnya udara yang kami hirup. Beberapa pengunjung juga sesekali terlihat menuju air terjun tersebut. Maklum kami ke air terjun tersebut pada hari Minggu atau hari libur, sehingga memang akan banyak pengunjung yang tentu juga ingin menikmati liburan di air terjun tersebut. Tak lupa sesekali kami mengabadikan perjalanan itu dengan mengambil foto rimbun dan hijaunya pepohonan di hutan tersebut. 

Hutan yang hijau, rimbun, sejuk dan segar

Numpang nyengir bersama Ojik dan topi runcingnya


Berselang kurang lebih 15 menit, akhirnya kami sampai di air terjun Benang Stokel. Air terjun ini memiliki dua buah air terjun. Sesampainya di air terjun ini kami menemukan lumayan cukup banyak pengunjung, umumnya pengunjung datang dengan rombongan keluarga. Namun ada pula dari kalangan rombongan muda mudi yang datang. Beberapa obyek kami abadikan gambarnya melalui kamera ponsel kami. Sesekali mengamati keadaan sekitar kemudian kami beranjak mendekat menuju air terjun. Tentu tidak kami sia-siakan kesempatan itu untuk mendokumentasikan moment tersebut, kami berfoto bergiliran. Tak lupa pula kami mencuci muka serta merasakan sejuk dan segarnya air terjun benang stukel. Meskipun tidak mandi di air terjun itu, setidaknya kami bisa merasakan sejuk dan kesegarannya. Beberapa pengunjung terlihat sedang mandi beramai-ramai di bawah air terjun tersebut. Di lokasi Air Terjun Benang Stokel kami tidaklah lama. Hanya sekitar 15 menit saja. Kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju air terjun Benang Kelambu. 

Anak tangga menuju Air Terjun Benang Stokel

Penampung Air di Kawasan Air Terjun Benang Stokel

Papan Informasi proses terbentuknya
Air Terjun Benang Stokel


Beberapa orang pengunjung yang sedang menikmati
suasana di Air Terjun Benang Stokel

Ojik dan topi runcingnya berpose di antara dua
Air Terjun Benang Stokel


Tak mau kalah dong, saya juga ikut berpose

Menikmati sejuknya air terjun Benang Stokel

Dalam perjalanan menuju Air terjun Benang Kelambu kami tempuh dengan berjalan kaki. Kami kembali menyusuri jalan setapak yang masuk kawasan hutan. Tidak sampai lima menit, kami menemukan para pedagang yang menjajakan makanan dan minuman. Setelah melewati para pedagang tersebut masuk kembali kawasan hutan, namun jenis hutan ini adalah Hutan Kemasyarakatan (HKm). Karena jenis tanaman yang tumbuh di sana tidak hanya tanaman hutan dengan pohon-pohon besar dan lebat, namun juga kami menemukan tanaman perkebunan seperti nangka, duren, pisang dan beberapa jenis tanaman perkebunan lainnya. Hal ini sebagaimana tertulis jelas pada gerbang masuk kawasan wisata air terjun Benang Stukel dan Benang Kelambu. Tertulis bahwa kawasan ini merupakan kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Gapoktan Rimba Lestari.

Seorang pengunjung berjalan menuju
Air Terjun Benang Kelambu


Berjalan selama kurang lebih lima belas menit rasanya lumayan lelah dan berkeringat. Akhirnya kami memutuskan untuk istirahat sejenak di sebuah berugak sederhana. Tempat di mana para pengunjung bisa beristirahat dan menikmati makanan dan minuman. Kami melepas lelah sejenak sembari ngobrol-ngobrol tentang berbagai hal. Tiba-tiba dua orang menghampiri kami, yang ternyata mereka adalah mahasiswa saya juga. Deni dan Tarbit. Deni adalah seorang mahasiswi saya dan sekarang di semester 7, sedangkan Tarbit saat ini masih semester 3 sama seperti Ojik teman sekelasnya. Mereka datang ke lokasi air terjun ini bersama rombongan teman-teman desanya, desa Gereneng. Ikutlah mereka nimbrung ngobrol-ngobrol sebentar kemudian pamit untuk berangkat duluan ke air terjun Benang Kelambu. Kami pun kemudian menyusul. 

Istirahat sejenak melepas lelah, kemudian bertemu
dengan Deni (jilbab putih) dan Tarbit (baju hitam)


Beberapa lama kemudian kami menemukan pintu masuk untuk turun menuju Air Terjun Benang Kelambu. Di dekat pintu masuk tersebut terdapat beberapa pedagang makanan, juga pangkalan ojek. Di dekat pintu masuk itu juga terdapat papan informasi geopark Rinjani, khususnya seputar Air Terjun Benang Kelambu. Tak lupa kami mengabadikannya dengan memfoto. Kami juga membaca beberapa informasi tersebut sambil diskusi-diskusi ringan. Tak lama kemudian kamipun masuk dan menuruni sekitar puluhan atau mungkin ratusan anak tangga. 

Papan Informasi proses terbentuknya
Air Terjun Benang Kelambu

Sepanjang jalan menuruni anak tangga kami menemukan lumayan banyak pengunjung. Namun semakin banyak lagi ketika kami sudah sampai di lokasi Air Terjun Benang Kelambu. Ada pengunjung yang mandi, mengambil foto, selfie, dan hanya sekedar ngobrol-ngobrol dengan teman atau rombongan mereka. Air Terjun Benang Kelambu memang sesuai dengan namanya. Benang Kelambu merupakan bahasa sasak yang artinya benang korden. Air terjun yang jatuh seperti benang-benang yang menjuntai jatuh dengan lurus. Lelahnya perjalanan cukup terbayar dengan keindahan air terjun ini. Apalagi dengan airnya yang sejuk dan menyegarkan. Di sekitaran air terjun ini juga disediakan fasilitas atau spot selfie. Hanya dengan membayar sebesar dua ribu rupiah para pengunjung sudah dapat melakukan foto selfie di lokasi tersebut. Tentu kami tidak menyia-nyakan kesempatan itu. Saya dan Ojik juga berfoto di spot foto tersebut. Kami juga menjumpai Deni dan Tarbit di sana. Tak lupa kami berfoto bersama. Dengan background air terjun benang kelambu tentunya foto kami sedikit terlihat lebih indah dan instagramable. Hanya mungkin akan terasa sedikit agak kurang nyaman dengan padatnya pengunjung. namun kami cukup menikmati suasana di air terjun tersebut. 

Para pengunjung menuruni anak tangga menuju
Air Terjun Benang Kelambu


Ramainya Pengunjung di Air Terjun Benang Kelambu

Spot foto dan selfie


Saya dan Ojik berpose dengan background
Air Terjun Benang Kelambu


Foto Berempat: Deni, Tarbit, saya dan Ojik

Para pengunjung di tangga naik spot foto

Setelah puas berfoto dan melihat-lihat keadaan sekitar tak terasa jam menunjukkan pukul 12 lewat 30 menit. Artinya sudah masuk waktu shalat zuhur. Kami kemudian menuju sebuah mushalla untuk melaksanakan shalat zuhur. Selain fasilitas mushalla untuk shalat, di lokasi itu juga disediakan ruang ganti pakaian dan kamar mandi. Usai shalat, kami langsung bergeras untuk pulang. Menaiki kembali anak tangga yang kami lewati ketika datang. Sesekali kami juga berhenti untuk istirahat melepas lelah, sembari ngobrol dan menikmati kopi dan makanan ringan. 

Musholla kecil tempat shalat

Tempat wudhu nya, airnya sejuk dan segar

Sesampai di dekat gapura kami mencoba mencari soto hangat untuk mengisi perut. Ide ini muncul dari saya sendiri mengingat kondisi lokasi yang sedikit dingin, dalam benak saya mungkin enak makan soto, selain untuk menghilangkan rasa lapar, juga sebagai penghangat tubuh setelah dari air terjun. Namun beberapa warung yang kami masuki tidak menyediakan soto, hanya menjual mie instan, nasi campur, makanan ringan dan beraneka jenis minuman. Akhirnya kami memutuskan untuk langsung pulang dan nantinya akan mampir di warung soto yang cukup terkenal di desa Kotaraja. Akhirnya kami bergegas menuju parkiran, mengambil sepeda motor kami masing-masing dan beranjak pulang. 

Perut semakin memberontak, rasa lapar cukup terasa. Sekitar 40 menit perjalanan akhirnya kami sampai di warung soto di desa Kotaraja. Setelah menikmati soto hangat, kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju desa Tete Batu, tepatnya menuju rumah Ojik. Cuaca sedikit mendung ketika kami masih di perjalanan. Sesampai di rumah Ojik, saya disambut ramah oleh bapak, ibu dan saudara-saudaranya. Awalnya saya diajak duduk santai di sebuah bangunan yang katanya sering dijadikan tempat pertunjukan (semacam sanggar budaya). Selain itu beberapa kali juga digunakan sebagai tempat pertemuan pemerintah desa. Kondisinya cukup nyaman karena langsung berdekatan denga hamparan sawah yang hijau dan sejuk dipandang mata. 

Beberapa menit kami sempat ngobrol mengenai berbagai hal, tak lama kemudian tiba-tiba turun hujan. Ditambah dengan angin cukup kencang, sehingga kami terkena dengan percikan air hujan tersebut. Kami akhirnya pindah ke dalam rumah. Semakin lama, hujan disertai angin kencang semakin membuat suasana semakin mencekam. Daun-daun pepohonan berguguran. Tak lama kemudian pohon jambu di luar rumah terlihat patah dan hampir menimpa sepeda motor saya. Tak lama berselang tiba-tiba butiran-butiran es turun bersamaan dengan turunnya hujan. Kami cukup kaget, karena tumben menemukan kondisi cuaca yang cukup ekstrim tersebut. Sekitar hampir 30 menit hujan badai itu terjadi, akhirnya mereda juga. Cuaca terlihat cerah, kenampakan gunung Rinjani juga terlihat sangat jelas, gagah menjulang tinggi. Orang-orang mulai keluar rumah, bergotong royong membersihkan halaman rumah yang kacau bekas hujan badai tadi. 

Beberapa saat di dalam rumah, saya dan Ojik ngobrol-ngobrol sambil menikmati kopi hangat dan kolak ubi hangat. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 16.00 wita. Saya kemudian sholat ashar dulu sebelum akhirnya pamit untuk melanjutkan perjalanan pulang. Di perjalanan pulang saya menemukan sekitar tujuh pohon-pohon besar bertumbangan akibat hujan disertai angin badai tadi. Terutama di dekat SMK Tete Batu. Terlihat beberapa orang sedang memotong ranting-ranting pohon yang menindih kabel-kebel listrik. Kondisi listrik tentu mati total akibat kejadian angin badai tersebut. Saya pun terus melanjutkan perjalanan pulang dan akhirnya sampai di rumah dengan selamat. 

Bagik Longgek, 23 November 2020 

--Hasrul Hadi

Selasa, 03 November 2020

POSITIVE LEGACY

Tiba-tiba ide ini muncul di kepala saya. Ide tentang karya yang saya ciptakan sebagai warisan positif. Apapun itu, selama bernilai positif maka akan saya abadikan. Baik dalam bentuk tulisan maupun audio-visual.

Media yang cocok untuk hal ini menurut saya adalah website, jurnal ilmiah, rubrik opini surat kabar, jurnal ilmiah, buku, dan youtube. Apapun hal baik atau positif akan saya abadikan sebagai warisan bagi generasi setelah saya. Setidaknya dengan konten-konten yang saya sajikan akan dapat menginspirasi mereka. Baik untuk melakukan hal positif yang sama, maupun hal positif lainnya.

Konten-konten yang sudah ada di website dan youtube saya harus dirapikan. Diarahkan untuk menjadi jejak digital yang bernilai warisan positif (positive legacy). Adapun konsern yang akan saya garap tidak terlalu banyak dibatasi pada bidang-bidang tertentu saja. Namun selama saya mampu dan bernilai warisan positif tentu besar kemungkinan saya akan mengabadikannya.

Di dalam angan-angan saya membayangkan nantinya akan mewawancarai tokoh-tokoh inspiratif di bidangnya. Selain itu saya juga sekali waktu bisa membawakan materi atau konten tertentu yang memiliki nilai edukasi dan inspirasi.

Sebenarnya menurut saya, mewariskan hal positif tidak melulu melalui media digital dan cetak. Warisan positif juga tidak selalu berkaitan dengan harta benda. Karena sejatinya warisan positif bisa juga kita mulai dari lingkungan terdekat kita. Yaitu dengan menciptakan kebiasaan-kebiasaan positif yang dikerjakan berulang-ulang secara konsisten.

Contoh kecil saya sudah menerapkan kebiasaan magrib mengaji di lingkungan keluarga kecil saya. Setiap usai shalat magrib sebisa mungkin kami membaca Al-Qur'an (mengaji) secara bersama-sama. Ada saya, istri saya dan putri kecil kami yang masih berusia empat tahun. Waktu antara magrib dan isya kami manfaatkan untuk membaca Al-Qur'an. Kami berusaha memperkenalkan dan mengajarkan membaca Al-Qur'an kepada anak kami sejak dini. Hal ini bertujuan agar ia terbiasa kemudian tumbuh rasa cinta pada Al-Qur'an. Selain mengajarkan membaca, waktu antara magrib dan isya juga dapat dimanfaatkan untuk menghafal ayat-ayat Al-Qur'an serta menyelami makna atau kandungan di dalamnya.

Itu baru satu contoh warisan positif yang saya harapkan bisa diwariskan oleh anak saya. Warisan tersebut kemudian diwariskan kembali kepada keluarganya, baik suami maupun anak-anaknya kelak. Kunci keberhasilan agar menjadi warisan positif yang berkelanjutan adalah pembiasaan yang berulang secara konsisten. Apapun perbuatan baik dan positif jika dibiasakan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka tidak mustahil kebaikan-kebaikan tersebut akan lestari dan abadi di muka bumi ini.

Harapan saya, semoga saja niatan baik ini bisa bermanfaat dan diberkahi oleh Allah SWT, Aamiin.

  

Minggu, 23 Agustus 2020

SEBUAH CERITA DI BALIK PENDAKIAN BUKIT ANAK DARA SEMBALUN

 

Berawal dari ajakan seorang teman, namanya Anwar. Melalui pesan whatsapp ia menyampaikan ajakannya untuk pergi camping di salah satu obyek wisata camping di Lombok Timur. Tepatnya di Padang Savana Propok. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengiakan. Mengingat saya sudah lama tidak menikmati alam bebas dan jenuh dengan rutinitas pekerjaan di kantor. Selang beberapa hari dari komunikasi tersebut ada suatu peristiwa yang terjadi di  Padang Savana Propok, yaitu peristiwa para pendaki melakukan tarian “dugem” pada suatu malam dan videonya tersebar luas dan mendapat berbagai komentar negatif dari para warganet. Peristiwa tersebut pada akhirnya menyebabkan Padang Savana Propok ditutup sementara sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Artinya tidak ada lagi yang bisa datang untuk camping dan menikmati indahnya padang Savana yang luas dengan tampilan gunung Rinjani menjulang tinggi.

Ditutupnya padang savana Propok juga menutup rencana kami untuk menuju tempat itu. Namun tentu kami memiliki masih banyak opsi. Masih banyak bukit yang dibuka dan masih memungkinkan untuk didaki dan dinikmati keindahan alamnya. Saya kemudian melanjutkan komunikasi dengan Anwar untuk mematangkan rencana keberangkatan kami. Sampailah kami pada kesepakatan akan berangkat pada hari selasa dan rabu, tepatnya pada tanggal 11-12 Agustus 2020. Sebelumnya saya masih belum tau siapa teman satu tim selain Anwar. Ia hanya menyampaikan bahwa akan mengajak seorang mantan mahasiswanya yang berasal dari Sembalun bernama Aziz. Berdasarkan komunikasi Anwar dengan Aziz, lokasi yang akan dijadikan tempat camping yaitu di Bukit Dandaun, Sembalun. Saya sempat menawarkan ke Bukit Pergasingan, namun untuk sementara kami sepakati ke Bukit Dandaun. Komunikasi saya dengan Anwar juga mendiskusikan perihal apa saja yang akan dibawa nantinya. Saya pun mengidentifikiasi apa saja barang atau perlengkapan yang akan dibawa. Kebetulan ada tenda sisa peristiwa gempa Lombok tahun 2018. Jadi itu bisa dimanfaatkan, sama halnya dengan Anwar, ia juga memiliki tenda yang dapat digunakan, sisa peristiwa gempa itu juga. Perlengkapan-perlengakapan lainnya juga kami siapkan seperti selimut, jaket, kompor gunung, bahan makanan, serta berbagai perlengkapan penunjang lainnya.

Tibalah saatnya hari keberangkatan. Saya diingatkan mengenai rencana keberangkatan ini melalui sambungan telpon oleh Anwar sebanyak dua kali. Pertama pada malam sebelum hari keberangkatan, ke dua pagi hari sebelum keberangkatan. Kami berencana berangkat sekitar jam 09.00 wita dari rumah di Rakam, Lombok Timur menuju Sembalun. Sebelum jam 09.00 saya dijemput oleh Anwar ke rumah. Kebetulan ia berangkat dari rumah mertuanya di Jantuk, Dasan Lekong. Ia datang dengan pakaian kantor, dan usut punya usut dia pada hari sebelumnya baru pulang tugas dari Mataram langsung ke rumah mertua menjumpai istri dan anak-anaknya yang sudah ada di sana. Sehingga pagi itu ketika saya dijemput, kami harus ke rumahnya di rakam untuk mengganti baju dan mengambil berbagai perlengkapan yang akan dibawa. Di rumah Anwar sekitar lima belas menit “packing” barang dan perlengkapan yang akan dibawa maka kami sudah siap untuk berangkat. Sebelum berangkat kami sempatkan mengambil gambar barang bawaan kami seperti terlihat pada gambar 1 berikut ini.

Gambar 1. Barang bawaan saya dan teman saya Anwar

Barang bawaan saya dan teman saya Anwar

Pada gambar tersebut terlihat tenda warna hijau, itu miliknya Anwar dan tenda warna cokelat adalah milik saya. Tas coklat dan hitam kecil juga milik saya, meski kecil tapi isinya cukup lah untuk kegiatan pendakian dua hari satu malam. Sementara tas atau carrier paling kanan adalah milik si Anwar. Tak menunggu lama setelah mengambil gambar barang bawaan tersebut kami langsung berangkat menggunakan sepeda motor milik si Anwar. Kami berangkat kurang lebih jam 09.14 wita dari rakam menuju sembalun. Mengingat kami di perjalanan tidak terlalu ngebut alias santai, pelan asal selamat, akhirnya sampai di sembalun, tepatnya di Dusun Birak Desa Bilok Petung Kecamatan Sembalun hampir sekitar pukul 11.00 Wita. Sampailah kami di rumah Aziz. Di rumahnya yang cukup terpencil, ia membuka tempat belajar bagi anak-anak di dusunnya. Ia membuat semacam perpustakaan kecil sebagai tempat membaca dan belajar bagi anak-anak sekitarnya. Ia namakan tempat itu PUSAKA yang merupakan akronim dari “Perpustakaan Anak Kampung”. 

      

      

PUSAKA (Perpustakaan Anak Kampung) di rumah Aziz

Sesampai di rumah Aziz ini awalnya kami menemukan beberapa orang anak yang sedang bermain. Namun tak lama berselang Aziz keluar dan menemui kami. Sembari menunggu Aziz menyiapkan segala sesuatunya untuk kebutuhan pendakian, ia menyuguhkan kami minuman herbal, yaitu serbuk kunyit yang dapat diminum dengan cara diseduh dengan air hangat. Selain itu disediakan pula kopi hitam disertai dengan beberapa jajanan tradisional Lombok seperti tempeyek, renggi dan lainnya. Ada pula jajanan yang dibawa Anwar dari rumah mertuanya, yaitu jajanan hasil hajatan warga atau “begawe” berupa gegodoh dan temrodok jajan tradisional khas Desa Sakra.

                  

Kunyit anget, kopi hitam, dan jajanan tradisional

      Sambil ngobrol-ngobrol santai sambil ngopi dan menikmati aneka jajanan datanglah salah seorang teman Aziz bernama Juliadi yang biasa dipanggil Joe. Si Joe ini kemudian nantinya menjadi teman kami juga mendaki dan camping. Setelah berkenalan, ngobrol dan bersenda gurau kamipun kembali mendiskusikan perihal keberangkatan yang akan sebentar lagi dilakukan. Terutama mengenai lokasi, setelah berdiskusi beberapa lama akhirnya kami menyepakati Bukit Anak Dara sebagai lokasi mendaki dan camping kami. Tak lama berselang azan zuhur berkumandang. Kamipun siap-siap, ada yang mandi dan ada yang hanya cuci muka saja. Kemudian sholat dan berangkat. Sebenarnya selain saya, Anwar, Aziz dan Joe, ada satu lagi yang sebenarnya akan ikut, yaitu pamannya si Joe. Sebelum membeli perlengkapan khususnya logistik mendaki, kami sempat berhenti di pinggir jalan untuk menelpon pamannya Joe. Terutama untuk memastikan apakah ia positif ikut mendaki atau tidak. Namun berdasarkan informasi yang kami dapatkan dalam waktu yang bersamaan temannya datang dan harus menemaninya sehingga ia tidak jadi ikut mendaki bersama kami.


Berhenti sejenak menghubungi pamannya Joe

Kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke rumah kakaknya Aziz, di sana ia dibekali dengan bumbu-bumbuan sederhana seperti garam, cabai, tomat dan bawang. Tak lupa sekantong nasi juga diberikan sebagai bekal makan kami di atas bukit sana. Kami kemudian bertolak dari rumah kakaknya Aziz menuju gerai tempat membeli logistic seperti makanan, air minum, gas kompor, dan perlengkapan lainnya yang dianggap perlu dibawa. Dari gerai logistic kemudian bertolak menuju pos keberangkatan pendakian Bukit Anak Dara. Melewati permukiman penduduk, areal persawahan, kebun bambu, jalan berbatu, berkerikil, berdebu, turunan dan tanjakan tak luput pula kami lewati. Dan akhirnya sampailah kami di pos tempat pendaftaran pendakian. Di tempat tersebut tersedia tempat parker untuk memarkirkan kendaraan berupa sepeda motor yang kami gunakan. Selanjutnya membayar tiket dan biaya parkir. Untuk tiket mendaki perharinya dihitung 10 ribu per orang. Dikalikan empat orang dikalikan dua hari maka kami mengeluarkan biaya tiket sebesar 80 ribu. Ditambah biaya parkir dua sepeda motor sebesar 20 ribu, sehingga total biaya yang kami keluarkan sebesar 100 ribu rupiah untuk empat orang dan biaya parkir dua sepeda motor. Sebelum berangkat, tak afdol rasanya jika belum mengambil gambar. Akhirnya kami berpose dilokasi pendaftaran dekat pintu pendakian. Di sana disediakan semacam bangku khusus tempat berfoto ria bersama sesama tim pendaki.

     

Pose sebelum pendakian, dari kiri ke kanan (Aziz, Anwar, Joe dan Saya)

Setelah berfoto dan dirasa cukup, kami langsung berangkat untuk melangsungkan pendakian. Saya tidak sempat memperhatikan jam berapa, tapi kalau diperkirakan sekitar jam 13.15 wita. Di awal pendakian kami semua sangat bersemangat. Kami berjalan menyusuri jalan setapak melewati hutan yang mulai menanjak dengan kemiringan yang cukup ekstrim. Sehingga mau tidak mau kita harus berpegangan pada pohon, ranting, akar maupun tali yang sengaja dipersiapkan oleh pengelola bukit. Di track yang menanjak ini saya mulai kelelahan. Keringat bercucuran dan sesekali saya harus minum karena kehausan. Saya harus berjalan pelan. Kebetulan saya ditemani oleh Anwar. Melihat kondisi saya yang kepayahan, dia juga sesekali menghentikan langkahnya menunggu saya mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan. Saya menyadari memang sebelum berangkat mendaki belum sempat latihan fisik dulu. Sehingga sangat berpengaruh terhadap daya tahan ketika melakukan pendakian. Ketika keadaan saya sudah mulai membaik, maka kami pun melanjutkan perjalanan. Tak lupa sesekali mengabadikan momen perjalanan dengan mengambil foto, terutama dengan background bukit yang berkabut atau terkadang sesekali melihat hamparan petak-petak sawah warga Sembalun dari tempat yang relatif tinggi. Sungguh pemandangan yang menyegarkan mata. Mungkin karena sudah lama saya tidak beraktivitas di alam bebas seperti hutan, bukit maupun gunung. Ditambah dengan beban pekerjaan dan rutinitas yang cukup menjemukan.

    

Foto saya ketika kelelahan (kiri) dan berjalan menanjak (kanan)

Setelah melewati hutan dengan tanjakan serta sesekali melewati padang ilalang maka sampailah kami pada pos 1 dengan ketinggian kurang lebih 1.500 mdpl. Di pos inilah kami istirahat sejenak melepas lelah. Di pos 1 ini kami menemukan sekelompok pendaki yang katanya berasal dari desa Terara Kabupaten Lombok Timur. Sebenarnya ada satu kelompok lagi yang kami temui yaitu rombongan dari Kota Mataram, namun sepertinya mereka langsung melanjutkan perjalanan tanpa istirahat lebih lama di pos 1. Terlihat teman-teman seperjalanan ini sedang duduk-duduk santai sambil minum kopi dan ngobrol-ngobrol ringan. Disertai canda tawa semua berusaha melepas lelah setelah berjibaku melawan tanjakan di perjalanan sebelumnya. Tidak lupa momen beristirahat ini saya abadikan melalui beberapa bidikan kamera smartphone saya. 


Melepas lelah sejenak di pos 1

Perjalanan selanjutnya relatif tidak terlalu melelahkan. Terutama dari pos 1 menuju pos 2 karena jalan yang dilalui terbilang landai. Di sepanjang perjalanan dari pos 1 ke pos dua tak lupa saya mengabadikan perjalanan baik dengan memotret maupun membuat video. Sambil ngobrol santai di perjalanan dan sesekali saling timpali dengan celotehan canda tawa, tanpa terasa kami pun sampai di pos 2. Di pos 2 yang disebut juga pos tanjakan cinta ini tak lupa juga kami mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Pada saat pengambilan gambar kebetulan perbukitan di belakang kami tertutup oleh kabut sehingga keindahan bukit tersebut tak dapat tertangkap kamera. Di pos 2 ini kami tidak beristirahat lama, hanya sekedar singgah mengambil gambar kemudian melanjutkan perjalanan mengingat waktu semakin sore.     

                                                  Pos 2, Tanjakan Cinta

Dari pos 2 kami kemudian melanjutkan perjalanan dan bertolak menuju puncak bukit anak dara. Dari pos dua sudah terlihat jelas puncak bukit yang menjulang tinggi itu. Tak sabar rasanya ingin segera sampai dipuncaknya. Namun apa daya untuk mencapainya harus melewati beberapa tanjakan yang lumayan terjal. Meski demikian, tak menyurutkan langkah kami untuk terus berjalan dan menguji diri sendiri dengan tantangan perjalanan yang cukup melelahkan. Untuk membunuh lelah, kami mencoba mengisi waktu perjalanan dengan ngobrol santai, bersenda gurau, sesekali beristirahat, dan juga sesekali meminum air yang kami bawa dari bawah bukit. Sehingga tanpa terasa pada akhirnya sampailah kami di atas bukit anak dara dengan ketinggian 2000 mdpl. Di atas sana ternyata sudah cukup banyak pendaki yang sudah mendirikan tenda. Setelah diatas bukit, saya baru menyadari bahwa akses untuk sampai ke puncak bukit itu tidak hanya melalui jalur yang kami lewati, namun ada pula jalur lain yang dapat digunakan. Sesampainya di atas bukit sekitar pukul 17.00 wita kami langsung mencari lokasi dan langsung mendirikan tenda.

     

Proses mendirikan tenda

Setelah dua buah tenda yang kami bawa berhasil didirikan, kami kemudian langsung mengambil air wudhu menggunakan air mineral yang kami bawa. Selanjutnya kami melaksanakan shalat ashar secara bergantian. Tak lupa sebelum gelap kami mengabadikan momen dengan mangambil gambar yang cukup indah di sore itu. Suhu udara sudah mulai menurun. Dingin sudah mulai menyengat kulit, kami semua kemudian bergegas mengambil jaket dan perlengkapan penghangat tubuh lainnya. Sebelum magrib, kami menyiapkan makanan untuk kebutuhan makan malam. Hari sudah mulai gelap. Para pendaki yang lain mulai menyalakan penerang di tenda-tenda mereka masing-masing. Kami berusaha agar wudhu pada saat shalat ashar tidak batal sehingga bisa digunakan untuk shalat magrib dan isya. Setelah shalat magrib, perut kami sudah mulai kelaparan. Tak lama kemudian makanan sudah siap disantap. Dengan kondisi dingin, perut lapar ditemani makanan hangat tentu lengkap sudah nikmatnya camping di ketinggian bukit anak dara.

     

Suasana menjelang senja di atas Bukit Anak Dara

Malam semakin larut, suhu udara semakin dingin. Kami semua masuk tenda masing-masing. Setiap tenda diisi oleh dua orang. Saya bersama Anwar, dan Aziz bersama Joe. Tak banyak yang bisa kami lakukan, setelah selesai shalat isya, kami hanya ngobrol-ngobrol santai di bawah cahaya senter kecil di dalam tenda. Untuk menghalau dingin, kami mencoba menghangatkan tubuh dengan merokok. Lumayan. Sembari mengencangkan jaket, mengenakan dua celana panjang, kaos kaki, leher dililit dengan syal, kemudian tubuh saya dibungkus dengan sleeping bag. Sementara Anwar membungkus dirinya dengan cover bad yang dibawa dari rumah. Lumayan hangat. Sesekali terdengar suara lantunan lagu dari tenda sebelah. Terdengar suara Joe menyanyikan lagu terbaru dari band Noah. Suara-suara obrolan dari tenda-tenda pendaki di sebelah kami juga terdengar cukup jelas. Perlahan suara-suara itu meredup, kami semua terlarut dan terlelap dalam pekatnya malam perbukitan yang suhu udaranya cukup dingin.


Kerlap-kerlip lampu permukiman warga Sembalun di malam hari


Di pertengahan malam saya terbangun, rintik-rintik hujan terasa menjatuhi tenda kami. Embun di permukaan tenda tembus dan lembab ke dalam. Suhu udara semakin dingin, posisi tenda kami pun sebenarnya tidak benar-benar berada di atas tanah yang datar. Posisinya yang sedikit miring cukup mengganggu tidur kami. Punggung kami terasa pegal di pagi hari ketika bangun tidur. Tak lama kemudian terdengar suara azan subuh dari corong-corong masjid di desa sembalun. Saya pun terbangun, kemudian membangunkan Anwar. Cuaca yang begitu dingin tidak memungkinkan untuk kami mengambil air wudhu. Lagi pula persediaan air kami semakin menipis. Jadilah kami tayamum sebelum shalat subuh. Setelah shalat subuh, kami masih bertahan di dalam tenda. Sampai kemudian mulai terlihat agak jelas keaadaan mulai terang. Matahari sedikit demi sedikit muncul dari ufuk timur. Tentu ini momen-momen yang sangat kami tunggu-tunggu. Momen sunrise. Menikmati sinar mentari pagi dengan segelas kopi hangat, kemudian tentu saja mengabadikan momen berharga tersebut dengan bidikan-bidikan kamera smartphone kami.

             
             
                 
Bonus

Setelah cukup puas dengan berfoto ria, kami kemudian kembali ke tenda untuk menikmati sarapan dan kopi hangat. Sungguh suasana yang mantab. Di saat suhu yang relatif dingin dan perlahan menghangat saat sinar mata hari mulai menyentuh kulit-kulit kami, menikmati kopi hangat dan makan cemilan serta sedikit obrolan santai diselingi canda tawa tentu merupakan pilihan yang sangat tepat bagi kami. Tanpa terasa mata hari pun semakin meninggi. Waktu menunjukkan pukul 07.30 wita. Kami mulai membongkar tenda dan mengemas barang bawaan kami untuk segera bergegas turun dari bukit. Meski banyak para pendaki memilih untuk tinggal lebih lama di sana, namun kami memilih lebih cepat untuk turun, alasannya agar tidak terlalu ramai di perjalanan serta kami lebih cepat menikmati suasana pagi di sembalun. Suasana di perjalanan juga tentu akan sangat kami nikmati tanpa gangguan hilir mudiknya para pendaki lain. setelah selesai berkemas-kemas sebelum akhirnya memulai perjalanan turun menyusuri bukit, kami menyempatkan diri berfoto di landmark bukit anak dara. Karena tidaklah afdol rasanya jika tidak berfoto di tempat tersebut. Beberapa pendaki lainnya menyapa kami dan menawarkan kopi dan sarapan sebagai basa basi. Kami pun berterima kasih sebelum akhirnya memulai perjalanan menuruni bukit tersebut.


Menikmati kopi hangat setelah sarapan pagi

                           Berkemas-kemas dan bersiap untuk pulang menuruni bukit anak dara


Pose bersama di landmark gunung/bukit anak dara


Berangkat pulang menuruni bukit anak dara

Bonus


Bonus

Dalam perjalanan pulang kami begitu menikmati keindahan yang terhampar di depan mata. Tak lupa kami mengabadikannya. Namun dalam perjalanan pulang tersebut ada satu peristiwa yang cukup mengusik bagi saya. Yaitu kelingking kaki kiri saya lecet dan berdarah. Ini karena saya adalah satu-satunya anggota tim yang tidak mengenakan sepatu untuk mendaki, tapi menggunakan sandal gunung. Desain sandal gunung dengan jari kelingking yang menempel pada tali sandal tersebut lambat laut membuatnya saling bergesakan dan terjadi lecet di kelingking kaki saya. Rasanya bisa dibayangkan. Perih. Ditambah kondisi paha dan betis cukup pegal karena menjadi tumpuan bobot tubuh ketika menuruni bukit. Keringat saya tentu bercucuran, napas ngos-ngosan, dan untungnya saya masih ada cadangan air minum. Perlu diketahui, saya selalu berjalan paling belakang. Sementara tiga teman lainnya mendahului di depan. Maklum kondisi bobot tubuh cukup membuat saya kepayahan berjalan. Tapi tetap saya nikmati. Tidak tahan dengan rasa nyeri dan perih di kelingking kaki awalnya saya mencoba melapisinya dengan tissue yang saya bawa. Namun tidak membuahkan hasil yang efektif. Sering kali tissue tersebut terlepas. Sampai saya memutuskan untuk tidak menggunakan alas kaki sama sekali alias nyeker dalam perjalanan turun tersebut.

         

Berjalan tanpa alas kaki


Tak terasa, sampai juga di pos 2 tanjakan cinta

Dari pos 2 berlanjut k epos 1 dan terus turun menyusuri jalan setapak melwati hutan sebagaimana jalan yang telah kami lewati ketika berangkat maka sampailah kami di pos pendaftaran. Di lokasi ini kami istirahat sejenak dan membersihkan diri di toilet yang disediakan di sana.

 




Warung sederhana di dekat pos pendaftaran

Setelah merasa cukup, kami kemudian beranjak dari pos pendaftaran dengan dua sepeda motor. Saya berboncengan dengan Anwar sementara Aziz dengan Joe. Kami kemudian diajak oleh Aziz menuju rumah keluarga angkatnya untuk beristirahat sejenak. Dan pada akhirnya sampai, kami bertemu dengan beberapa orang keluarga angkatnya, ada bapak serta saudari-saudari perempuannya. Di rumah tersebut kami dijamu dengan kopi, cemilan dan disuguhkan makan siang. Sungguh nikmat yang tiada tara. Setelah dirasa cukup, kami kemudian berpamitan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Kami sangat berterimakasih sekali terutama kepada Aziz dan keluarga angkatnya dan juga Joe yang telah menjadi bagian dari tim perjalanan mendaki ke bukit anak dara. Kami pun bersalaman dan berpisah dari rumah tersebut untuk kemudian pulang ke rumah masing-masing.

    

Jamuan makan siang di rumah keluarga angkat Aziz

Dalam perjalanan pulang ke rakam, kami sempat turun di sekitaran sembalun untuk membeli oleh-oleh. Ada bawang putih, ada strowberi dan juga ada wortel. Selain itu di perjalanan pulang, khususnya di tengah hutan antara desa Sembalun dengan Sapit kami sempat turun untuk berfoto di tengah jalan. Meski terlihat norak, tapi tetap kami lakukan.

         

Anwar berpose di tengah jalan yang membelah hutan


Saya juga berpose, tidak mau ketinggalan

Kami kemudian melanjutkan perjalanan dan pada akhirnya sampai ke rumah masing-masing. Sungguh perjalanan yang menyenangkan. Tidak lupa setelah itu foto-foto kami menghiasi media sosial dan mendapat beragam komentar dari netizen yang berbahagia.

                                                                       

                                                                     ***




















 









KEMBALI MENULIS

Akhirnya saya rindu juga menulis. Mengetik kan kata demi kata yang terangkai menjadi kalimat. Berlanjut menjadi paragraf demi paragraf. Mung...