Hasrul Hadi, M.Pd
(Dosen FKIP Universitas
Hamzanwadi)
Wisuda
menggambarkan acara seremonial kelulusan dan penetapan gelar dari perguruan
tinggi. Tergambar senyum bahagia dan penuh haru dari para wisudawan maupun
orang tua dari para wisudawan. Ini menandakan bahwa berakhirnya masa studi dan
dibukanya lembaran baru pasca studi di dunia nyata. Yakni dunia masyarakat.
Kebahagiaan
pada saat wisuda itu sering kali tidak bertahan lama. Dalam hitungan hari
keceriaan pada saat wisuda itu berubah menjadi kegelisahan dan kegamangan.
Sarjana yang baru saja lulus sudah mulai dengan pikiran-pikiran mengenai masa
depan, khususnya masalah pekerjaan. Mulai muncul perasaan tidak nyaman terus
bergantung kepada orang tua. Meski tidak semua sarjana di awal kelulusannya
seperti itu, namun ini adalah kondisi umum yang dialami oleh sarjana yang baru
saja lulus.
Info
lowongan kerja di berbagai media masa maupun internet terus diburu. Sharing dan
tukar informasi dengan teman dan sahabat tak henti dilakukan. Setiap ada
lowongan kerja tak lupa ikut serta memasukkan lamaran. Namun mengingat
persaingan yang begitu ketat sering kali membuat kemungkinan diterima bekerja
menjadi semakin kecil, bahkan sirna.
Akhirnya kembali lagi pada
kebingungan dan kegamangan. Pilihan terakhir, dari pada tidak bekerja, biasanya
sarjana baru ini tidak perduli dengan bidang yang digelutinya selama kuliah.
Apapun peluang kerja yang ada langsung diambilnya tanpa pikir panjang. Semua
gengsi terpaksa dibuang jauh-jauh dan akhirnya cukup mampu menjadikannya bisa
bertahan hidup meskipun dengan berbagai macam rintangan dan tantangan. Salah
satu tantangan yang sering mengganjal adalah ketidaksesuaian pekerjaan dengan
bidang yang digeluti selama kuliah. Hal ini terjadi karena pekerjaanlah yang
mengatur si sarjana tadi bukan ia yang menentukan sendiri apa yang harusnya ia
kerjakan. Sering kali fenomena ini menyisakan tekanan dalam batin mereka.
Jadilah mereka pekerja-pekerja yang kurang bersemangat, sarat dengan keluhan.
Masa depan tak seindah bayangan mereka dulu ketika masih kuliah.
Perlunya menciptakan peluang
Peluang
itu sebaiknya bukan ditunggu, tapi diciptakan. Begitulah kira-kira ungkapan
yang sering kita dengar dari para motivator. Tentunya itu merupakan ungkapan
yang tidak salah. Masalahnya sering kali sarjana hanya menunggu, bukan
menciptakan peluang kerja bagi diri mereka. Hanya sebagian kecil dari mereka
yang bekerja berdasarkan hasil jerih payah mereka sendiri dalam menciptakan
peluangnya. Sisanya hanya menunggu datangnya peluang kerja.
Sarjana
yang lulus dari Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK) tentunya sudah
paham akan tujuannya dipersiapkan menjadi seorang guru. Jika sarjana pendidikan
ini memang serius untuk menjadi guru hendaknya itu harus sudah dipersiapkan
sejak masa masih menjadi mahasiswa. Sehingga setelah lulus peluang menjadi guru
semakin terbuka lebar. Sehingga tujuan yang diinginkan bisa diwujudkan lebih
cepat dengan cara yang lebih mudah. Persiapan dan kerja keras adalah suatu hal
yang penting untuk menciptakan peluang sekaligus mencapai apa yang kita
inginkan. Bruce Lee pernah berkata “persiapan untuk hari esok adalah kerja
keras hari ini”. Ini artinya jika ingin sukses di masa depan maka hari inilah
yang menjadi penentunya. Kita isi dengan apa hari ini, kerja keras atau hanya
santai saja. Pertanyaan ini kembali kepada diri kita masing-masing.
Menjawab
kegelisahan dan kegamangan itu saya ingin memberikan sebuah gambaran bagaimana
peluang menjadi guru itu bisa diciptakan. Terutama sejak masih menjadi
mahasiswa aktif di sebuah LPTK. Pertama,
mahasiswa hendaknya aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Terutama
organisasi yang terkait langsung dengan bidang pendidikan di sekolah. Misalnya
saja pramuka, PMR, Kelompok Karya Tulis Ilmiah, Marching Band, dan sebagainya.
Aktif dalam kegiatan organisasi akan mengasah kemampuan mahasiswa dalam bidang
kepemimpinan dan manajerial serta mengasah keterampilan mahasiswa dalam bidang
organisasi yang digelutinya. Kedua,
mahasiswa hendaknya melibatkan diri menjadi guru relawan (volunteer teacher). Terutama bagi anak-anak putus sekolah yang
kurang mampu, membuka kelas sore non-formal untuk berbagai pengetahuan dan
keterampilan seperti baca tulis, membaca alquran, kerajinan tangan, seni dan
olah raga, membuat komunitas literasi seperti membaca dan menulis bagi
anak-anak, dan sebagainya. Ketiga,
dari dua langkah sebelumnya maka perlu adanya jejaring. Mahasiswa hendaknya
membangun komunikasi dengan berbagai pihak terutama pihak sekolah untuk mendermakan
ilmu dan keterampilan yang dimilikinya. Awalnya bisa saja menjadi relawan di
sekolah yang bersangkutan, lambat laun sambil meningkatkan keterampilan dan
kompetensi serta dedikasi yang tinggi, maka besar kemungkinan akan direkrut
menjadi guru tetap di sekolah bersangkutan. Keempat,
bisa saja dengan potensi diri berupa kompetensi dan keterampilan dalam bidang
kepemimpinan dan manajerial yang diperoleh dari organisasi digunakan untuk
menghimpun rekan sejawat yang nasibnya sama untuk membangun sebuah lembaga
pendidikan. Baik berupa lembaga sekolah, lembaga pelatihan atau training,
maupun lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan.
Memang,
hasil pemikiran ini tak selamanya bisa mengantarkan pada tujuan menjadi seorang
pendidik (guru). Mengingat berbagai kondisi yang dihadapi tidak sepenuhnya sama
dan berulang. Namun semua itu tergantung dari seperti apa kita merencanakan
serta bekerja keras untuk mewujudkan tujuan yang kita harapkan.
Korleko, 31
Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar