Rabu, 15 November 2017

KEDEWASAAN DALAM BERPOLITIK

Sumber : Google.com

Akhir-akhir ini saya intens mengikuti perkembangan politik di desa saya, yakni Desa Korleko. Maklum, suhu politik pilkades sudah mulai agak menghangat. Letupan-letupan konflik sudah mulai terdengar di sana sini, meski intensitasnya masih kecil. Hal ini wajar, mengingat setiap calon kepala desa bersama dengan tim nya sedang berusaha sekuat tenaga agar dapat meraih simpati masyarakat pemilih. Meski belum ada bukti konkrit yang saya temukan, isu money politic sudah santer terdengar. Ini jelas menodai demokrasi kita yang sudah bersusah payah dibangun oleh para pendiri bangsa dengan menekankan pada pelaksanaan demokrasi yang bersih.
Fenomena terpolarisasinya masyarakat pada kelompok-kelompok calon kepala desa yang mereka dukung menimbulkan hal lain yang tak kalah penting. Apa itu? Semakin menguatnya soliditas masyarakat pada satu kelompok, dan merenggangkan hubungan dengan kelompok lainnya di satu sisi.Misalnya saja, saya mendengar cerita dari seorang warga bahwa ia memiliki sepupu yang rumahnya tepat berada di depan rumah warga tersebut. Pernah suatu ketika mereka berdua hendak sama-sama keluar dari rumah mereka masing-masing. Terpolarisasinya masyarakat pada kelompok-kelompok calon kepala desa yang mereka dukung menimbulkan hal lain yang tak kalah penting. Apa itu? Semakin menguatnya soliditas masyarakat pada satu kelompok, dan merenggangkan hubungan dengan kelompok lainnya di satu sisi. Misalnya saja, saya mendengar cerita dari seorang warga bahwa ia memiliki sepupu yang rumahnya tepat berada di depan rumah warga tersebut. Pernah suatu ketika mereka berdua hendak sama-sama keluar dari rumah mereka masing-masing.
Tersebab pilihan calon kades yang berbeda, mereka keluar gerbang rumah dengan saling membelakangi, saling memunggungu satu dengan yang lain. Jangankan saling tegur sapa, sepotong senyum pun tak ada. Misalnya saja, saya mendengar cerita dari seorang warga bahwa ia memiliki sepupu yang rumahnya tepat berada di depan rumah warga tersebut. Pernah suatu ketika mereka berdua hendak sama-sama keluar dari rumah mereka masing-masing. Tersebab pilihan calon kades yang berbeda, mereka keluar gerbang rumah dengan saling membelakangi, saling memunggungu satu dengan yang lain. Jangankan saling tegur sapa, sepotong senyum pun tak ada. Semula, senyum sapa dan interaksi positif antar tetangga terjalin cukup baik. Namun ketika pesta demokrasi (pilkades) sudah dimulai, maka tak jarang sesama tetangga, bahkan antar keluarga ada yang tak mau saling tegur sapa, mengingat pilihan calon kades yang berbeda. Pilihan calon kades yang berbeda, mereka keluar gerbang rumah dengan saling membelakangi, saling memunggungu satu dengan yang lain. Jangankan saling tegur sapa, sepotong senyum pun tak ada. Misalnya saja, saya mendengar cerita dari seorang warga bahwa ia memiliki sepupu yang rumahnya tepat berada di depan rumah warga tersebut. Pernah suatu ketika mereka berdua hendak sama-sama keluar dari rumah mereka masing-masing. Tersebab pilihan calon kades yang berbeda, mereka keluar gerbang rumah dengan saling membelakangi, saling memunggungu satu dengan yang lain. Jangankan saling tegur sapa, sepotong senyum pun tak ada. Semula, senyum sapa dan interaksi positif antar tetangga terjalin cukup baik. Namun ketika pesta demokrasi (pilkades) sudah dimulai, maka tak jarang sesama tetangga, bahkan antar keluarga ada yang tak mau saling tegur sapa, mengingat pilihan calon kades yang berbeda.
Mungkin tak tepat jika saya terlalu prematur membuat sebuah kesimpulan. Mengingat data

dan informasi yang saya peroleh masih sangat terbatas. Informasi yang telah saya peroleh pun perlu divalidasi agar terbukti kuat kebenarannya. Namun paling tidak kita bisa mengambil sebuah pembelajaran berharga dari fenomena tersebut. Tak hanya kejadian sederhana seperti itu. Percekcokan antar warga juga sering terjadi. Perdebatan akibat mengunggulkan calon masing-masing juga menjadi penyebab pertengkaran serius dan dendam berkepanjangan. Fenomena ini tak hanya terjadi di dunia nyata, bahkan sering juga terjadi di dunia maya melalui media sosial. Tak tepat jika saya terlalu prematur membuat sebuah kesimpulan. Mengingat data dan informasi yang saya peroleh masih sangat terbatas. Informasi yang telah saya peroleh pun perlu divalidasi agar terbukti kuat kebenarannya. Namun paling tidak kita bisa mengambil sebuah pembelajaran berharga dari fenomena tersebut. Tak hanya kejadian sederhana seperti itu. Percekcokan antar warga juga sering terjadi. Perdebatan akibat mengunggulkan calon masing-masing juga menjadi penyebab pertengkaran serius dan dendam berkepanjangan. Fenomena ini tak hanya terjadi di dunia nyata, bahkan sering juga terjadi di dunia maya melalui media sosial.
Perdebatan demi perdebatan, pertengkaran demi pertengkaran masih terus saja terjadi. Hal yang sepatutnya kita tanamkan dalam diri kita masing-masing adalah sikap terbuka (open mind) dengan segala macam perbedaan. Hindari panatisme politik secara berlebihan. Tanamkan sikap persaudaraan dengan kuat. Lawan politik berbeda dengan musuh politik. Bukan permusuhan yang hendak dibangun, melainkan persaingan yang sehat. Demokrasi yang bersih. Tujuan yang mulia demi kesejahteraan, keamanan, dan kemajuan kita bersama. Tanpa ada lagi gesekan-gesekan yang kemudian menjadi pemicu perpecahan bangsa. Lalu apa pelajaran berharganya? Tentunya dari fenomena tersebut kita tersadar dan
sedikit tidak fenomena tersebut telah menggambarkan bahwa kita masih belum dewasa dalam berpolitik. Demi perdebatan, pertengkaran demi pertengkaran masih terus saja terjadi. Hal yang sepatutnya kita tanamkan dalam diri kita masing-masing adalah sikap terbuka (open mind) dengan segala macam perbedaan. Hindari panatisme politik secara berlebihan. Tanamkan sikap persaudaraan dengan kuat. Lawan politik berbeda dengan musuh politik. Bukan permusuhan yang hendak dibangun, melainkan persaingan yang sehat. Demokrasi yang bersih. Tujuan yang mulia demi kesejahteraan, keamanan, dan kemajuan kita bersama. Tanpa ada lagi gesekan-gesekan yang kemudian menjadi pemicu perpecahan bangsa. Lalu apa pelajaran berharganya? Tentunya dari fenomena tersebut kita tersadar dan sedikit tidak fenomena tersebut telah menggambarkan bahwa kita masih belum dewasa dalam berpolitik.
Keterlibatan kita dalam peristiwa politik ini masih kekanak-kanakan. Kita belum bisa memaknai demokrasi yang sejati. Kita masih perlu belajar banyak tentang kedewasaan berpolitik. Jangan sampai peristiwa politik semakin memecah belah kita, bahkan semakin mengacaukan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Lalu bagaimana memulai belajar dewasa dalam berpolitik? Tentunya harus dimulai dari hal terkecil, mulai dari diri sendiri dan harus dimulai saat ini juga. Dan bagaimana hasilnya ke depan, itu semua bergantung kepada upaya perubahan yang kita lakukan masing-masing. Kita dalam peristiwa politik ini masih kekanak-kanakan. Kita belum bisa memaknai demokrasi yang sejati. Kita masih perlu belajar banyak tentang kedewasaan berpolitik. Jangan sampai peristiwa politik semakin memecah belah kita, bahkan semakin mengacaukan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Lalu bagaimana memulai belajar dewasa dalam berpolitik? Tentunya harus dimulai dari hal terkecil, mulai dari diri sendiri dan harus dimulai saat ini juga. Dan bagaimana hasilnya ke depan, itu semua bergantung kepada upaya perubahan yang kita lakukan masing-masing.
Korleko, 13 November 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar